Muslimah dan Kesehatan

Hukum Obat Pencegah Haid

Posted on: 27/03/2017

Berikut ini adalah sebuah tulisan dari Ustadz Aris Munandar, M.PI (ustadzaris.com)

Menggunakan obat pencegah haid sementara waktu karena suatu keperluan semisal saat umroh, haji atau ingin puasa Ramadhan secara utuh pada dasarnya diperbolehkan menimbang bahwa secara umum berobat itu suatu hal yang diperbolehkan dengan syarat komsumsi tersebut tidak menimbulkan efek negatif dari sisi kesehatan. Jika ada dampak negatifnya komsumsi obat semisal itu tidaklah diperbolehkan mengingat QS al-Baqarah: 195 dan QS an-Nisa’: 29. Meskipun komsumsi obat pencegah haid diperbolehkan namun yang terbaik adalah tidak mengkomsumsinya kecuali ada kebutuhan mendesak karena kondisi alami itulah yang paling cocok bagi badan (Ibnu Utsaimin dalam Risalah fi ad-Dima’ ath-Thabiiyyah li an-Nisa’).

Status wanita yang mengkomsumsi obat pencegah haid itu ada dua rincian.

Pertama, obat tersebut berhasil mencegah keluarnya darah haid sebelum darah haid keluar. Dalam kondisi ini, wanita tersebut tergolong suci karena memang tidak ada darah haid yang keluar dan pada dasarnya kita pertahankan kondisi awal yaitu suci. Inilah pendapat yang dipilih oleh Ibnu Taimiyyah, fatwa Lajnah Daimah serta fatwa Ibnu Baz dan Ibnu Utsaimin.

Kedua, obat pencegah haid dikomsumsi setelah darah haid keluar sehingga darah haid berhenti selama beberapa waktu dan darah haid akan kembali keluar setelah masa pengaruh dari obat tersebut berakhir.

Rincian kedua ini terbagi menjadi dua kategori.

  • Darah berhasil dihentikan selama kurang lebih delapan atau sepuluh hari. Thowaf dalam kondisi semisal itu sah karena thowaf dilakukan dalam kondisi suci.
  • Darah berhasil dihentikan namun cuma kurang lebih satu hari lalu keluar lagi. Dalam kondisi semisal ini ulama bersilang pendapat mengenai status wanita tersebut, suci ataukah teranggap haid.

Ada ulama semisal Ibnu Farhun al Maliki yang menegaskan bahwa wanita tersebut tergolong haid. Ada dua alasan yang mendasari ulama yang menilai haid.

Alasan pertama, kriteria minimal hari suci dari haid. Setelah keluarnya darah haid seorang wanita itu teranggap haid. Status haid itu tidak hilang kecuali jika darah haid itu berhenti secara permanen minimal selama masuk dalam kriteria minimal hari suci dari haid. Namun terkait permasalahan minimal hari suci dari haid pendapat yang paling kuat adalah tidak ada batas bakunya. Inilah pendapat Ishaq bin Ruhawaih, Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya, Ibnu Hazm, Ibnu Taimiyyah, Fatwa Lajnah Daimah, Ibnu Baz dan Ibnu Utsaimin.

Diantara dalil pendukung pendapat ini adalah atsar dari shahabat Ibnu Abbas.
قَالَ أَبُو دَاوُدَ وَقَدْ رَوَى ابْنُ سِيرِينَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ فِى الْمُسْتَحَاضَةِ قَالَ إِذَا رَأَتِ الدَّمَ الْبَحْرَانِىَّ فَلاَ تُصَلِّى وَإِذَا رَأَتِ الطُّهْرَ وَلَوْ سَاعَةً فَلْتَغْتَسِلْ وَتُصَلِّى.
Abu Dawud mengatakan bahwa Ibnu Sirin meriwayatkan dari Ibnu Abbas mengenai wanita yang mengalami istihadhah. Ibnu Abbas mengatakan, “Jika wanita tersebut melihat darah maka dia tidak boleh mengerjakan shalat. Namun jika dia melihat bahwa dirinya suci meski hanya sesaat saja maka dia suci. Oleh karena itu dia berkewajiban untuk mandi dan mengerjakan shalat sebagaimana biasanya” (Sunan Abu Daud).

Berdasarkan pertimbangan di atas maka pendapat yang terkuat jika seorang wanita mengkomsumsi obat penghenti haid setelah keluarnya darah haid hendaknya dia pastikan terlebih dahulu. Jika memang dia benar-benar dalam kondisi suci dari darah haid karena tanda-tanda suci terdapat pada dirinya maka dia dalam kondisi suci sehingga boleh baginya untuk thawaf. Namun jika setelah dicermati ternyata dia belum dalam kondisi yang benar-benar suci maka yang terjadi pada dirinya hanyalah berhentinya darah haid sementara waktu, bukan suci sehingga dia tetap saja tidak boleh thawaf mengelilingi Ka’bah.

Alasan kedua, masalah sehari lihat darah sehari suci. Jika seorang wanita darah haidnya keluar secara tidak teratur, sehari keluar sehari tidak keluar maka apakah di hari tidak ada darah haid wanita tersebut teranggap haid ataukah teranggap suci adalah masalah yang diperselisihkan oleh para ulama. Pendapat yang terkuat dalam masalah ini adalah saat darah haid tidak keluar tidaklah teranggap suci namun tetap teranggap haid. Ini adalah mazhab Hanafi, pendapat yang terkuat dalam mazhab Syafii dan pendapat yang dipilih oleh Syaikh Ibnu Utsaimin dalam Syarh Mumti’.

Alasan yang menguatkan pendapat ini adalah

1) dengan sepakat ulama dalam haid tidaklah disyaratkan darah haid keluar secara terus menerus di masa haid

2) telah menjadi kebiasan wanita dalam haid bahwa darah haid itu keluar secara terus menerus selama beberapa waktu lamanya lantas berhenti selama beberapa waktu lamanya, tidaklah termasuk kebiasaan haid para wanita darah itu keluar secara terus menerus

3) andai kita katakan bahwa hari berhentinya darah haid itu teranggap suci konsekuensinya seorang wanita itu cukup menjalani masa iddah dalam satu bulan karena darah haid itu akan berhenti selama beberapa kali. Sehingga jika demikian di akhir masa haid masa iddah teranggap sudah selesai.

Berdasarkan uraian di atas maka berhentinya darah haid selama sementara waktu itu dianggap masih dalam kondisi haid, bukan kondisi suci dari haid. Namun jika dalam kondisi ini bisa dipastikan bahwa itu adalah kondisi suci karena terdapat indikator menunjukkan hal tersebut maka wanita yang mengalaminya adalah wanita yang suci dari haid karena mempertimbangkan indikator suci dari haid adalah bagian dari kaedah pokok syariat. Dalam kondisi ini wanita tersebut teranggap benar-benar suci meski waktu sucinya hanya sebentar saja. Sehingga dalam kondisi ini wanita tersebut boleh melakukan thawaf mengelilingi Ka’bah.

Walhasil, berhentinya darah haid yang sebelumnya telah keluar disebabkan mengkomsumsi obat penghenti haid status hukumnya perlu dirinci dengan mempertimbangkan ada tidaknya indikator suci dari haid. Jika terdapat indikator suci maka dianggap suci meski masa berhentinya darah haid hanya sebentar. Jika tidak terdapat indikator suci maka tidak teranggap suci selama darah haid itu berhenti di saat yang secara normal memungkinkan untuk keluarnya darah haid.

Oleh karena itu disarankan bagi wanita yang mengalami ragu-ragu atau wanita yang khawatir akan keluarnya darah haid saat mengerjakan kegiatan ibadah haji atau umroh agar melakukan tindakan hati-hati dengan mengkomsumsi obat pencegah haid sebelum darah haid keluar. Komsumsi obat tersebut jangan ditunda sampai keluarnya darah haid mengingat adanya berbagai pertimbangan yang njlimet yang harus diperhatikan pada saat semisal itu. Pertimbangan-pertimbangan tersebut boleh jadi tidak dia ketahui. Akhirnya dia memutuskan untuk melakukan thawaf padahal sebenarnya dia dalam kondisi haid karena mengira dia telah berada dalam kondisi suci.

Tinggalkan komentar

Buku Karyaku yang Pertama

Panduan Kesehatan Wanita
Flower_book

Wahai para ibu, berikanlah hak asASI bayimu!! 0 s.d 6 bln = ASI Eksklusif, setelah itu ASI + MPASI hingga 2 tahun

Ikon ASI

Daftar Artikel